Daun gugur, dingin, lalu mati.
Dingin, lalu dingin lagi.

Kira-kira seperti itu yang terjadi ketika musim dingin melanda negara-negara bagian barat bumi kita. Dalam hati sempat iri, senangnya bisa melihat fenomena alam seperti itu.

Mmmm…. Bukannya tidak mensyukuri terlahir di bumi pertiwi, buktinya saya sangat mengidolakan lelaki pribumi. Well, ok, back to the topic.
Musim di Indonesia yang sangat “variatif” seperti musim hujan, musim kemarau, musim duren, musim kucing kawin, dll, memang tidak bisa dipungkiri jadi warna tersendiri bagi jiwa kita, jiwa-jiwa anak bangsa yang sedikit demi sedikit mulai belajar mencintai bangsanya.

Sebenarnya saya sedikit malu untuk membagi note ini, karena kali ini saya menulis tentang seseorang yang saya yakin saat ini (pun) sedang berpikir tentang hal yang sama. Sedikit pede memang, tapi kali ini saya boleh berbangga hati karena DIA, berbeda. Berbeda dari fenomena alam, berbeda dari keyakinan saya akan sebentuk hati yang pernah saya beri. DIA ternyata tak setimpal dengan itu.

DIA lebih indah…. DIA lebih indah.

Jangan bilang saya gila. Saya hanya datang, melihat dan sesekali ingin merengkuhnya seperti hangatnya susu cokelat dalam perut. Saya, tidak merebutnya dari hidup. Saya, memilih dan dipilih oleh DIA untuk bersama menikmati hidup.

Kebaikan yang ada, biarlah hanya saya dan DIA yang menilai. Saya, tak percaya penilaian orang. Yang pasti, ada tawa dan air mata di sana. Cukup saya dan DIA yang merasa.

Daun gugur, dingin, lalu mati.
Dingin, lalu dingin lagi.

Walau di Indonesia tidak akan pernah punya empat musim, tapi saat ini, setelah hati dilanda musim dingin, saya merasa tiupan angin tak lagi kencang dan daun-daun sudah mulai berwarna kemerahan. Ternyata musim semi juga ada di Indonesia.

Coba saja tanya saya, saya tahu di mana tempatnya.

0 komentar:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.