Turun temurun saya dibekali nasihat, “manusia adalah makhluk sosial, dan tidak mungkin bisa hidup sendiri”. Saya sangat percaya itu. Terbukti memang, apa pun yang saya lakukan adalah bentuk refleksi saya terhadap apa yang orang lain katakan, apa yang orang lain lakukan, dan apa yang saya dapat dari lingkungan.

Tapi, yang terjadi ke depannya adalah, saya seringkali “bertingkah” kelewatan, mengatasnamakan refleksi diri terhadap orang lain. Saya menilai diri sesuai dengan nilai yang diberikan orang lain. Ironis sekali rasanya. Tapi, kebiasaan ini sudah menjadi duri dalam daging, susah dan menjengkelkan sekali ketika ingin dikeluarkan. So, apa yang saya dapat? Adalah ketidakpercayaan pada diri sendiri, yang akhirnya membuat saya seringkali menyerah kalah pada apa yang belum saya mulai.

Penilaian orang lain, pengakuan dari mereka, menjadi sebuah drama dimana saya adalah pemeran pembantunya. With action and cut.
Saya menjadi percaya akan diri saya setelah orang lain percaya pada saya. Well, itu benar-benar menjengkelkan…

Saya cantik, karena orang lain berkata begitu. Saya cerdas karena orang lain menilai begitu… Akhirnya menjadi sebuah ironi yang terkadang membuat saya hilang kendali akan kepemilikan sebuah diri. Menasihati diri sendiri adalah memang satu-satunya cara, setelah ego diri mulai terasa jinak.

Termotivasi akan nasihat sendiri memang butuh waktu yang lama. Saya menangis. Menangis untuk sebuah pergolakan.
Terhadap waktu yang tak pernah menunggu saya mengucap salam, bahwa saya tak ingin membatu…… Walaupun saya harus berkejaran, berdesakan dan jatuh bangun untuk bisa bersanding dengan waktu, biarlah…. Demi kepemilikan atas diri, saya miliki kembali……….

Here I am……. Dengan apa pun saya…. Saya ada di sini sekarang….
……dan saya pun menangis lagi.

0 komentar:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.