Pernahkah kita berpikir, bahwa sampah bukan hanya dari sisa-sisa makanan, bungkusan, barang tak terpakai, atau kotoran rumah tangga? Saya pernah mencoba berdialog dengan salah satu labirin dalam otak. Jawaban yang saya terima, adalah bahwa sampah juga ada di dalam perut, yang harus rutin dibuang, agar terhindar dari rasa begah dan perut buncit yang merajalela.


Saya mentolerir manusia-manusia yang bermasalah dengan sistem pencernaan mereka. Saya pun sering begitu. Well, back to the topic...


Labirin dalam otak saya ternyata memberi jawaban susulan. Sampah juga ternyata ada di dalam HATI.

Observasi mengenai sampah hati, tidak akan saya lakukan terhadap manusia-manusia yang belum tentu akrab di mata dan telinga. Observasi ini saya lakukan terhadap, well, saya? Ok, terhadap saya, sebagai pribadi...
Dimulai dengan mengambil pisau, membedah dan mengeluarkan isinya. Hati ini ternyata berwarna belang. Hitam dan putih. Berselang-seling. Mengental bersama darah, membeku bersama daging, di dinding dan dasarnya.


Yaiks......
Betapa kotornya hati ini.
Saya memang pecinta warna hitam. Tapi tentu bukan hitam yang seperti ini.
Bukan perkara mudah untuk hitam itu menjelma menjadi putih. Tapi seandainya saat itu tiba, saat sampah hati siap untuk dibuang, buanglah ia jauh-jauh.
Dibakar sehingga debu.
Dihanyut sehingga buih ombak.
Mungkin yang terpenting adalah keluarkan sampah hati pada tempatnya. Sejauh mungkin dari hati.

Seperti saat kita menekan tombol push pada closet...




Ada satu band yang membuat saya panas dingin. Bukan, bukan karena musikalitas mereka atau karena jam terbang mereka yang melampaui usia. Tapi karena mereka punya kenangan dalam hidup saya.

[Bercerita dari awal….]

Benci. Itu yang awalnya saya rasakan. Penilaian yang cukup tajam memang, dari seorang awam akan musik seperti saya. Cepat, lambat, berisik. Hanya itu yang bisa saya simpulkan. Saya heran, bagaimana bisa lelaki di sebelah saya, DIA, begitu menikmatinya.
Berbekal keinginan untuk tidak pergi, saya diam, pura-pura ikut menikmati. Protes kecil sempat terlontar, tapi demi hati yang sudah lelah mencari lagi, saya tersenyum untuk DIA.
……………
Dream Theater, datang dan pergi, lewat telinga kanan lalu hilang dari telinga kiri. Begitu terus, dan tidak pernah mendapat simpati. Tapi, DIA tetap menggemari.

Bisa sial kalau seperti ini terus.

…………..
Bumi berputar, laut pasang dan surut. Saya pergi, jauh dari sekotak kamar sang penggemar Dream Theater. Sempat mati rasa, buat apa menyisa rindu. Toh, tak ada sedikit rasa.

Sehari… Dua hari… Masih tahan….
Seminggu… Dua minggu…. Ada gejolak dalam hati….

Rindu. Menelusup diam-diam, tertawa dan menjajah hati. Aneh, benar-benar aneh. Tak ada rasa, tapi kenapa ada rindu?

Jawaban yang kemudian saya dapat adalah
Dream Theater itu kenangan. Kenangan saat mengenal DIA, kenangan ketika duduk di sebelah DIA, kenangan ketika ada derai tawa bersama DIA.

Ya… Ya… Ya….
Hanya karena DIA.


Daun gugur, dingin, lalu mati.
Dingin, lalu dingin lagi.

Kira-kira seperti itu yang terjadi ketika musim dingin melanda negara-negara bagian barat bumi kita. Dalam hati sempat iri, senangnya bisa melihat fenomena alam seperti itu.

Mmmm…. Bukannya tidak mensyukuri terlahir di bumi pertiwi, buktinya saya sangat mengidolakan lelaki pribumi. Well, ok, back to the topic.
Musim di Indonesia yang sangat “variatif” seperti musim hujan, musim kemarau, musim duren, musim kucing kawin, dll, memang tidak bisa dipungkiri jadi warna tersendiri bagi jiwa kita, jiwa-jiwa anak bangsa yang sedikit demi sedikit mulai belajar mencintai bangsanya.

Sebenarnya saya sedikit malu untuk membagi note ini, karena kali ini saya menulis tentang seseorang yang saya yakin saat ini (pun) sedang berpikir tentang hal yang sama. Sedikit pede memang, tapi kali ini saya boleh berbangga hati karena DIA, berbeda. Berbeda dari fenomena alam, berbeda dari keyakinan saya akan sebentuk hati yang pernah saya beri. DIA ternyata tak setimpal dengan itu.

DIA lebih indah…. DIA lebih indah.

Jangan bilang saya gila. Saya hanya datang, melihat dan sesekali ingin merengkuhnya seperti hangatnya susu cokelat dalam perut. Saya, tidak merebutnya dari hidup. Saya, memilih dan dipilih oleh DIA untuk bersama menikmati hidup.

Kebaikan yang ada, biarlah hanya saya dan DIA yang menilai. Saya, tak percaya penilaian orang. Yang pasti, ada tawa dan air mata di sana. Cukup saya dan DIA yang merasa.

Daun gugur, dingin, lalu mati.
Dingin, lalu dingin lagi.

Walau di Indonesia tidak akan pernah punya empat musim, tapi saat ini, setelah hati dilanda musim dingin, saya merasa tiupan angin tak lagi kencang dan daun-daun sudah mulai berwarna kemerahan. Ternyata musim semi juga ada di Indonesia.

Coba saja tanya saya, saya tahu di mana tempatnya.


Turun temurun saya dibekali nasihat, “manusia adalah makhluk sosial, dan tidak mungkin bisa hidup sendiri”. Saya sangat percaya itu. Terbukti memang, apa pun yang saya lakukan adalah bentuk refleksi saya terhadap apa yang orang lain katakan, apa yang orang lain lakukan, dan apa yang saya dapat dari lingkungan.

Tapi, yang terjadi ke depannya adalah, saya seringkali “bertingkah” kelewatan, mengatasnamakan refleksi diri terhadap orang lain. Saya menilai diri sesuai dengan nilai yang diberikan orang lain. Ironis sekali rasanya. Tapi, kebiasaan ini sudah menjadi duri dalam daging, susah dan menjengkelkan sekali ketika ingin dikeluarkan. So, apa yang saya dapat? Adalah ketidakpercayaan pada diri sendiri, yang akhirnya membuat saya seringkali menyerah kalah pada apa yang belum saya mulai.

Penilaian orang lain, pengakuan dari mereka, menjadi sebuah drama dimana saya adalah pemeran pembantunya. With action and cut.
Saya menjadi percaya akan diri saya setelah orang lain percaya pada saya. Well, itu benar-benar menjengkelkan…

Saya cantik, karena orang lain berkata begitu. Saya cerdas karena orang lain menilai begitu… Akhirnya menjadi sebuah ironi yang terkadang membuat saya hilang kendali akan kepemilikan sebuah diri. Menasihati diri sendiri adalah memang satu-satunya cara, setelah ego diri mulai terasa jinak.

Termotivasi akan nasihat sendiri memang butuh waktu yang lama. Saya menangis. Menangis untuk sebuah pergolakan.
Terhadap waktu yang tak pernah menunggu saya mengucap salam, bahwa saya tak ingin membatu…… Walaupun saya harus berkejaran, berdesakan dan jatuh bangun untuk bisa bersanding dengan waktu, biarlah…. Demi kepemilikan atas diri, saya miliki kembali……….

Here I am……. Dengan apa pun saya…. Saya ada di sini sekarang….
……dan saya pun menangis lagi.

 
Note ini saya tulis bukan untuk menyaingi booming film “Ketika Cinta Bertasbih”. Saya tentu tak sebanding dengan Kang Abib.
Note ini saya tulis di atas kegelisahan saya akan sebuah rasa. CINTA.

Gelisah yang saya rasakan bukanlah gelisah yang biasa. Gelisah ini membuat raga saya limbung, dan jiwa saya linglung.
Seperti seorang penari balet, cinta ini gemulai, lentur dan indah.
Cinta memang saya analogikan seperti menari balet, . . Anda tak setuju, itu terserah anda. Saya hanya menulis apa yang saya rasa.

Bisa menari balet adalah salah satu impian saya sejak kecil. Tapi, sampai sekarang pun tetap seperti itu. Tanpa tindakan dan hanya impian. Telat, pasti. Karena saya tidak pernah memulai untuk belajar. Entah ini yang namanya jodoh, saya “dipersunting” oleh sebuah kekuatan penari balet. CINTA.
Suatu kebetulan tentu saja tidak pernah ada dalam keyakinan diri saya. Dalam hal ini, saya berharap anda sependapat dengan saya. Sedikit memaksa memang. Tapi, tak ada salahnya untuk mencoba percaya, kan?

Menari balet bagaikan mengucap rangkaian puisi indah. Menurut kacamata saya, hal itu begitu sempurna. Kesempurnaan yang relatif tentu saja. Karena, kesempurnaan yang absolut hanya ada di atas langit, dan bukan di bumi. Memahami hal ini saya kembali berpikir tentang CINTA.
Indah, karena menjadi anugerah agar selalu dijaga. Indah, karena menjadi titipan agar selalu diberi makna. Indah, karena CINTA adalah KAMU. Ya, KAMU……

[I’m a dancer. Dancing with my heart. Dancing with you….]


Saya bangun, terduduk dan diam.
Hari ini sudah hari esok dari hari kemarin lagi. Hari ini saya mulai dengan ketimpangan pada otak sebelah kiri, yang sempat diajak berpikir terlalu keras, semalam.

Apa yang saya pikirkan ternyata adalah apa yang telah saya pikirkan dari jaman SMP dulu. Adalah rasa BENCI yang amat sangat. Itu yang sampai saat ini selalu saya pikirkan.
Rasa benci ini selalu menjadi pikiran karena belum pernah saya temui pemecahannya. Sampai saya ‘bertemu’ dengan satu titik dalam hidup, yaitu titik kedewasaan, dimana saya harus memilih terus maju untuk belajar menjadi dewasa, atau diam dan terbelenggu dalam nominal usia yang semakin tua sedangkan jiwa masih belum ikut serta.

Akhirnya, saya memilih untuk terus melanjutkan perjalanan. Tapi, benci itu masih mengikuti. Ke ruang makan, ke mal, ke warnet, bahkan ke tempat tidur. Menyebalkan memang, tapi saya bisa apa?
Ternyata ada yang bisa saya lakukan. Jawaban itu saya dapatkan saat saya sudah lelah dan sempat berniat memisahkan otak dari tempurung tengkorak kepala saya. Jawaban itu adalah BERDAMAI. Ya, berdamai dengan rasa benci itu sendiri. Di dunia ini, tidak mungkin semua orang baik pada kita. Orang-orang yang membenci kita pun mungkin sebanyak cacar air di wajah. Tapi, apabila kebencian seseorang kita lawan dengan kebencian juga, yang tumbuh dan berkembang adalah rasa sakit yang luar biasa. Itu yang saya rasakan.

Berdamai dengan rasa benci, saya mulai dengan belajar memaafkan apa, siapa, dan apa pun yang pernah ada dan sempat menyakiti, di masa lalu. Mudah? Belum tentu. Karena semuanya tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Tapi, sakit, berdarah, dan mencoba bangkit untuk memaafkan, adalah satu langkah yang akhirnya akan membentuk satu kata, DAMAI. Rasa damai memang harus kita mulai dari diri sendiri. Itu yang saya pegang sampai saat ini.
Saya menulis notes ini bukan untuk menggurui. Tapi berdasarkan apa yang terbentuk dari keseimbangan kerja otak kanan dan kiri, serta jiwa yang mulai sehat. Why not?